Minggu, 05 Februari 2017

PERIODESASI PERISTIWA PERGERAKAN BIMBINGAN DAN KONSELING DI INDONESIA

Ditulis : Wahid Suharmawan
A.   Sekilas Bimbingan dan Konseling di Amerika
Di Amerika pada awal tahun 1960, muncul tenaga konselor di SD, yang kemudian pada tahun 1975, berdasarkan hukum publik 94-145, Pemerintah Amerika menyediakan dana khusus untuk melayani anak-anak penyandang cacat, sehingga banyak daerah yang memasukkan tenaga Konselor di sekolah-sekolah terutama tingkat dasar dan menengah. Pengaruh kuat lainnya datang dari organisasi profesi, yaitu: Asosiasi Konseling Amerika (ACA), Asosiasi Konselor Sekolah Amerika (ASCA), dan Asosiasi Pendidikan Konselor dan Supervisi (ACES) (Wittmer, 1993).
Para anggota organisasi ini berupaya menggerakkan para profesional untuk mengembangkan aturan-aturan seperti program akreditasi dan sertifikasi. Sehingga secara berangsur-angsur konseling sekolah menjadi lebih profesional, dan utuh baik di sekolah maupun di lingkungan masyarakat.



B.   Sekilas Bimbingan dan Konseling di Indonesia

Sejarah lahirnya Bimbingan dan Konseling di Indonesia diawali dari dimasukkannya Bimbingan dan Konseling (dulunya Bimbingan dan Penyuluhan) pada setting sekolah. Pemikiran ini diawali sejak tahun 1960. Hal ini merupakan salah satu hasil Konferensi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (disingkat FKIP, yang kemudian menjadi IKIP) di Malang tanggal 20 &; 24 Agustus 1960.
Perkembangan berikutnya tahun 1964 IKIP Bandung dan IKIP Malang mendirikan jurusan Bimbingan dan Penyuluhan. Tahun 1971 beridiri Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP) pada delapan IKIP yaitu IKIP Padang, IKIP Jakarta, IKIP Bandung, IKIP Yogyakarta, IKIP Semarang, IKIP Surabaya, IKIP Malang, dan IKIP Menado. Melalui proyek ini Bimbingan dan Penyuluhan dikembangkan, juga berhasil disusun Pola Dasar Rencana dan Pengembangan Bimbingan dan Penyuluhan pada PPSP. Lahirnya Kurikulum 1975 untuk Sekolah Menengah Atas didalamnya memuat Pedoman Bimbingan dan Penyuluhan.
Kurikulum 1975 berisi layanan Bimbingan dan Konseling sebagai salah satu dari wilayah layanan dalam sistem persekolahan mulai dari jenjang SD sampai dengan SMA, yaitu pembelajaran yang didampingi layanan Manajemen dan Layanan Bimbingan dan Konseling. Pada tahun 1976, ketentuan yang serupa juga diberlakukan untuk SMK. Dalam kaitan inilah, dengan kerja sama Jurusan Bimbingan dan Konseling Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Malang, pada tahun 1976 Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menyelenggarakan pelatihan dalam penyelenggaraan pelayanan bimbingan dan konseling untuk guru-guru SMK yang ditunjuk.
Tindak lanjutnya memang tidak diketahui perkembangannya, karena para kepala SMK kurang memberikan ruang gerak bagi alumni pelatihan Bimbingan dan Konseling tersebut untuk menyelenggarakan layanan bimbingan dan konseling sekembalinya mereka ke sekolah masing-masing. Dan dengan penetapan jurusan yang telah pasti sejak kelas I SMK, memang agak terbatas ruang gerak yang tersisa, misalnya untuk melaksanakan layanan bimbingan karier.

Meskipun ketentuan perundang-undangan belum memberikan ruang gerak, akan tetapi karena didorong oleh keinginan kuat untuk memperkokoh profesi konselor, maka dengan dipelopori oleh para pendidik konselor yang bertugas sebagai tenaga akademik di beberapa LPTK, pada tanggal 17 Desember 1975 di Malang didirikanlah Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI), yang menghimpun konselor lulusan Program Sarjana Muda dan Sarjana yang bertugas di sekolah dan para pendidik konselor yang bertugas di LPTK, di samping para konselor yang berlatar belakang bermacam-macam yang secara de facto bertugas sebagai guru pembimbing di lapangan.

Ketika ketentuan tentang Akta Mengajar diberlakukan, tidak ada ketentuan tentang ”Akta Konselor”. Oleh karena itu, dicarilah jalan ke luar yang bersifat ad hoc agar konselor lulusan program studi Bimbingan dan Konseling juga bisa diangkat sebagai PNS, yaitu dengan mewajibkan mahasiswa program S-1 Bimbingan dan Konseling untuk mengambil program minor sehingga bisa mengajarkan 1 bidang studi. Dalam hal itu IPBI tetap mengupayakan kegiatan peningkatan profesionalitas anggotanya antara lain dengan menerbitkan Newsletter sebagai wahana komunikasi profesional meskipun tidak mampu terbit secara teratur, di samping mengadakan pertemuan periodik berupa Konvensi dan Kongres.
Untuk jenjang SD, pelayanan bimbingan dan konseling belum terwujud sesuai dengan harapan, dan belum ada konselor yang diangkat di SD, kecuali mungkin di sekolah swasta tertentu, tetapi pelaksanaan bimbingan dilakukan secara inplisit dalam program pendidikan. Untuk jenjang sekolah menengah, posisi konselor diisi seadanya termasuk, ketika SPG di-phase out mulai akhir tahun 1989, sebagian dari guru-guru SPG yang tidak diintegrasikan ke lingkungan LPTK sebagai dosen Program D-II PGSD, juga ditempatkan sebagai guru pembimbing, umumnya di SMA.

Dengan diberlakukannya Kurikulum 1994, mulailah ada ruang gerak bagi layanan ahli bimbingan dan konseling dalam sistem persekolahan di Indonesia, sebab salah satu ketentuannya adalah mewajibkan tiap sekolah untuk menyediakan 1 (satu) orang konselor untuk setiap 150 (seratus lima puluh) peserta didik, meskipun hanya terealisasi pada jenjang pendidikan menengah.
Sejumlah hal dilakukan sebagai konsolidasi profesi sehingga Bimbingan dan konseling menjadi profesi yang utuh dan berwibawa antara lain kata penyuluhan menjadi konseling, BK di sekolah hanya dilakukan oleh guru Pembimbing, dan lain sebagainya. Pada tahun 2001 dalam kongres di Lampung Ikatan Pertugas Bimbingan Indonesia (IPBI) berganti nama menjadi Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia (ABKIN).

C.   Tahapan Pergerakan Profesionalisasi Guru BK
1.    Periode I dan II: (sebelum 1960 sd. 1970-an)
Prawacana dan pengenalan (sebelum 1960-1970-an) Pada periode ini pembicaraan tentang bimbingan dan konseling sudah dimulai, terutama oleh para pendidik yang pernah mempelajarinya diluar negeri. Periode ini berpuncak dengan dibukanya jurusan Bimbingan dan penyuluhan pada tahun 1963 di IKIP Bandung (sekarang namanya UPI). Pembukaan ini menandai dimulainya periode kedua yang secara tidak langsung memperkenalkan pelayanan BP pada masyarakat akademik, dan pendidik. Sukses periode kedua in ditandai dengan dua keberhasilan, yang diluluskannya sejumlah sarjana BP, dan semakin dipahami dan dirasakan kebutuhan akan pelayanan tersebut.




2.    Periode III: (1970-1990 an)
Pada periode ini diberlakunya kurikulum 1975 untuk sekolah dasar sampai sekolah menengah tingkat atas. Kurikulum ini secara resmi mengintegrasikan ke dalamnya layanan BP untuk siswa. Pada tahun ini terbentuk organisasi profesi BP dengan nama IPBI (Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia). Pada periode ketiga ini ditandai juga dengan pemberlakuan kurikulum 1984. Dalam kurikulum 1984 ini, pelayanan BP difokuskan pada bidang-bidang karir. Dan pada periode ini muncul beberapa permasalahan, seperti:
a.    Berkembangnya pemahaman yang keliru, yaitu mengidentikan Bimbingan Karir dengan Bimbingan Penyuluhan.
b.  Kerancuan dalam mengimlementasikan SK Menpan No 26/Menpan/1989 terhadap penyelenggaraan layanan bimbingan di sekolah. Dalam SK tersebut terimplikasi bahwa semua guru dapat diserahi tugas melaksanakan pelayanan BP. Akibatnya pelayanan BP menjadi kabur, baik pemahaman maupun implementasinya.

3.    Periode IV: Konsolidasi (1990-2000)
Pada periode ini IPBI berusaha keras untuk mengubah kebijakan bahwa pelayanan BP itu dapat dilaksanakan oleh semua guru (seperti terjadi pada periode ke empat di atas). Pada periode ini ditandai oleh;
a.     Diubahnya secara resmi kata Penyuluhan Menjadi Konseling.
b.     Pelayanan BK di sekolah hanya dilaksanakan oleh guru pembimbing yang secara khusus ditugasi untuk itu.
c.     Mulai diselenggarakan penataran (nasional dan daerah) untuk guru-guru pembimbing.
d.     Mulai adanya formasi untuk pengangkatan menjadi guru pembimbing.
e.     Pola pelayanan BK di sekolah dikemas dalam bk pola 17, dan Dalam bidang kepengawasan sekolah dibentuk Kepengawasan Bidang BK.
f.      Dikembangkannya sejumlah panduan pelayanan BK di sekolah yang lebih operasional oleh IPBI.

4.    Periode V: Lepas Landas Tahun 2001
Lepas landas semula diharapkan periode konsolidasi akan dapat mencapai hasil-hasil yang memadai, sehingga mulai pada tahun 2001 profesi BK di Indonesia sudah dapat tinggal landas. Namun kenyataan menunjukkan bahwa masih ada permasalahan yang belum terkonsilidasi, yang berkenaan dengan sumber daya manusia(SDM). Kelemahannya berakar dari kondisi untrained, undertrained, dan uncommitted para pelaksana layanan Bimbingan dan Konseling di Sekolah.

Walaupun begitu pada tahun-tahun setelah masa konsolidasi terdapat beberapa peristiwa yang dapat dijadikan tonggak bagi pengembangan profesi konseling menuju era lepas landas, yaitu:
a.    Penggantian nama organisasi profesi dari IPBI menjadi ABKIN (Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia),
b.      Lahirnya undang-undang No 20 tahun 2003 tentang system pendidikan nasional, yang dimuat di dalamnya ketentuan bahwa konselor termasuk salah satu jenis tenaga pendidik (bab1 ayat 4).
c.   Kerjasama pengurus besar ABKIN dengan DIKTI DEPDIKNAS tentang Standarisasi Profesi Konseling.
d.   Kerjasama ABKIN dengan direktorat PLP dalam merumuskan kompetensi guru pembimbing (konselor) SMP dan sekaligus memberikan pelatihan kepada mereka.


Daftar Pustaka
ABKIN, 2009. Hasil Kongres Kongres XI ABKIN Di Surabaya pada Tanggal 14-15 November 2009
Prayitno dan Amti, Erman. 2004. Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling. Jakarta:Rineka Cipta.
Sukardi, Dewa Ketut. 2008. Pengantar Pelaksanaan Program Bimbingan dan Konseling di Sekolah. Jakarta: Rineka Cipta.
Walgito, Bimo. 2004. Bimbingan dan Konseling di Sekolah. Yogyakarta : Penerbit Andi.

Winkel, W.S. 2005. Bimbingan dan Konseling di Intitusi Pendidikan. Edisi Revisi. Jakarta: Gramedia.

Tidak ada komentar: